“Marketing with youth” itu adalah topic awal yang dipercayakan mas feisal dan mba andini dari Youthlab kepada saya untuk menjadi bahan tulisan sebagai salah satu kontributor writer di buku ini,tetapi dengan lancang,tanpa seijin mereka saya pun ingin merubah atau lebih tepatnya menambah sub judulnya menjadi “underground marketing”,yang IMHO terasa lebih kental aroma grass root(youth) nya J
Bicara mengenai marketing sebenarnya sudah terlalu banyak,bahkan sangat banyak yg ahli di bidangnya, akan butuh lebih dari 800 kata untuk dapat menyebutkan mereka satu persatu disini dengan berbagai macam teori yang telah dibuatnya, berkaca pada pepatah “apalah arti sebuah nama” maka berlaku juga “apalah arti sebuah teori” tanpa secara langsung terjun / terlibat secara aktif di dalamnya, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para pembuat teori-teori “youth” marketing.
Melakukan aktivitas pemasaran sebuah produk atau brand yang segmen nya menyasar kepada kaum muda,menurut pengalaman saya itu sama seperti mencari pacar “gampang-gampang susah” walaupun banyak susah nya :p , selain harus memahami karakteristik kaum muda seutuhnya ,kita pun dituntut untuk tetap merasa menjadi muda tanpa paksaan (being youth with passion) dan dituntut untuk menerima kenyataan disebut sebagai Higlander. Beruntung saya memulai bisnis ketika masih berumur 18 tahun ,berjalan seiringan dengan ilmu-ilmu dan teori yang saat itu sedang saya dapatkan di perkuliahan, saya pun mempraktekkan nya dengan banyak modifikasi dan adaptasi agar dapat diterima di dunia anak muda yang pada saat itu banyak menyebutnya dengan dunia underground, kaum marjinal, kaum tersisihkan, tetapi memiliki power dan potensi untuk berkembang.
Underground marketing atau mungkin bahasa halusnya street marketing yang secara tidak sadar dijalankan oleh para pelaku industri kreatif (clothing/distro/underground music/) selama ini, titik berat nya lebih pada memanfaatkan jalur pertemanan / kekuatan komunitas untuk mempengaruhi orang banyak / para “grouppies” brand atau band tersebut yang notabene adalah penikmat dan pembeli produk-produk mereka. Tapi tidak semua komunitas akan dijadikan panutan oleh mereka (pembeli), hanya komunitas yang mereka anggap top atau layak yang akan mereka “turuti”, contoh kasus sekitar tahun 1998/1999 disaat komunitas skateboard TLL (taman lalu lintas) Bandung masih eksis dan sempat menjadi salah satu “kiblat” anak muda pada saat itu,baik dari sisi fashion atau musik dan ekstrim sport nya, beberapa teman yang merupakan bagian dari komunitas TLL dan membuat sebuah brand clothing sempat mengeluarkan produk jacket berbahan parasut yang simple,tanpa grafis,hanya mengandalkan stripe warna berbeda selingkaran bagian dada dan punggung, uniknya, mereka hanya mengeluarkan beberapa warna saja pada awalnya,tapi kemudian membuka lebar-lebar pesanan dengan warna berbeda dari yang sudah mereka miliki tetapi dengan satu syarat tetap dengan pola yang sama yg telah mereka buat,alhasil,karena salah satu karakteristik anak muda adalah selalu ingin terlihat beda dari yang lain,selain pemberontak,maka berwarna-warni lah corak dan warna jacket yang tercipta,sesuai dengan selera masing-masing individu, dan hebatnya lagi,hampir semua bagian komunitas TLL saat itu memiliki jaket serupa dengan warna berbeda-beda. Ternyata “trend” yang tidak sengaja tercipta itu dapat dengan mudah menyebar setelah dipasarkan juga di salah satu distro (saat itu baru 1 distro yang ada,Anonim Distro) dengan system yang sama, custom order, pola sudah terbentuk,hanya tinggal pilih paduan warna bahan, dan ternyata pesanan pun mengalir deras,dan bahkan dengan berani saya katakan trend jacket parasit stripe telah mewabah seantero bandung raya dan sekitarnya,sampai banyak diperdagangkan oleh “kaum” opportunis” di kaki lima seputaran alun-alun dan pasar baru bandung yang nota bene bukanlah “pasar” anak muda !
hanya dari ide yang simple,dan word of mouth yang sangat baik,ratusan lusin jacket telah meluncur bebas ke pasaran saat itu dan merupakan momentum pas untuk melambungkan nama brand “NL’S (No Label Stuff) saat itu menurut saya,thanks God sampai saat ini saya masih menyimpan salah satu jacket parasit fenomenal tersebut J, hey you should make me a lifetime endorser bung Adjie ! J , begitu juga yang terjadi dengan school bag pack berlogo kan “mangkok terbalik” yang dibuat 347. Saat itu,belum terasa anak muda kalau sekolah atau kuliah belum pake tas ransel itu.
Mungkin pada awalnya pembuatan produk tersebut tidak sedikit pun tercetus di benak para desainer merangkap owner brand untuk menjadikannya se- fenomenal yang terjadi, hanya pilihan desain yang tepat,bisa memahami keinginan calon pasar dengan baik, dan word of mouth yang sangat efektif, tanpa bantuan catalog,iklan di media cetak dan aktivitas promosi “standar” lainnya and the brand got the right momentum to raise up !
PRODUCTS ARE BUILT IN FACTORY , BRAND ARE BUILT IN MIND
Kata siapa mendaftarkan merk sebuah brand dan mendapatkan kata-kata “trademark” atau “registered” pada Dirjen HAKI dirasa sangat sulit ?,memakan waktu dan berbelit-belit, menurut seorang sahabat dan pakar dalam brand revolution, Dixxieland, Jauh lebih sulit untuk mendaftarkan merk di benak konsumen dibandingkan mendaftarkan merk di Dirjen HAKI, absolutely right mas bro !
Dan akan lebih sulit lagi apabila produk yang bermaksud menyasar kaum muda tetapi perlakuan marketingnya muda yang ketinggalan jaman dan sangat so last year hanya karena owner atau manajemen berdalih “ dulu waktu saya muda bla bla bla blab la bleee…” its not gonna work sir J , time is change .
Jadi bagaimanakah caranya supaya dengan mudah “mendaftarkan” merk di benak anak muda ? apakah tidak bisa melalui jasa calo?, (mungkin bisa saja dengan testimoni berbayar,tapi tidak akan everlasting menurut saya), jadi bagaimana caranya? Banyak jalan menuju Roma kawan J ,tidak ada aturan baku harus A,B,C dan lain-lain , semuanya bergantung pada kreativitas tiap-tiap brand atau produk, pemanfaatan komunitas mungkin akan membuatnya lebih mudah,tapi akan kurang kuat “soul” dari brand apabila hanya memanfaatkan keberadaan komunitas saja tanpa ikut “terjerumus” kedalam aktivitas komunitas tersebut secara total.
Sedikit menyimpang, hanya mengilustrasikan, beberapa kawan dekat saya pernah ada yang berkomentar setiap saya mencoba “mainan” baru apakah itu bentuk jenis olahraga ekstrim baru saya geluti atau bidang baru yang saya masuki dia berkata “ gak akan lama lagi si febby pasti bakal bikin kaos nya nih”
Hehehe ternyata ada benarnya juga perkataan kawan itu, secara tidak sadar,setelah menemukan “roh” dari aktivitas baru yang saya jalani,akan dihubungkan dengan kemampuan dasar saya berproduksi dan menghasilkan pemasukan yang akan menunjang aktivitas saya tersebut di kemudian hari J baik itu berupa merchandise atau penyelenggaraan event dan lain-lain tergantung dari celah mana income tersebut akan dihasilkan tanpa harus mengorbankan idealisme saya , am I an opportunist ? I don’t think so, im just had a “soul” and look for a chance, and take the consequences to make it everlasting . intinya terjerumus lah dalam sebuah hobby ,temukan jiwa mu disana, aplikasikan teori-teori marketing dan adaptasikan dengan kenyataan yang terjadi, hasilkan sesuatu yang dapat berguna dan bernilai ekonomis bagi dirimu dan KOMUNITAS tersebut, jangan pernah melupakan akar yang membuat sebuah pohon dapat berdiri tegak ratusan tahun , that’s why I love skateboarding dan live from that till now !
Febby Lorentz
Owner Twoclothes Skateboard wear Industries
Indonesia Skateboarding Association (ISA)
Federasi Skateboard Indonesia ( FSI )
Co-Founder KICK (kreative Independent Clothing Kommunity)
Project Manager CEN (creative entrepreneur network)/BCCF (Bandung Creative City Forum)
Email : Febby_lorentz@yahoo.com
Twitter : @febbylorentz @twoclothes @infosk8board