SAVE BABAKAN SILIWANGI CITY PARK
Oleh Chay Asdak
Pemanfaatan lahan hutan kota Babakan Siliwangi kembali menyita perhatian publik. Konflik kepentingan pemanfaatan Babakan Siliwangi meningkat ketika Pemerintah Kota Bandung dan PT Esa Gemilang Indah memunculkan lagi usulan kegiatan komersial berupa rumah makan di lahan hutan kota tersebut, yang pernah digagas pada awal 2003 dan kandas karena tekanan publik.
Kepentingan publik harus dikedepankan dalam pemanfaatan lahan Babakan Siliwangi untuk menjawab persoalan krusial Kota Bandung, yaitu ancaman terhadap hutan kota, dan dengan demikian, terganggunya akses publik. Tulisan singkat ini diharapkan dapat mengungkapkan masalah dan jalan keluar atas masalah mengapa publik concern terhadap pemanfaatan lahan Babakan Siliwangi. Siapa yang seharusnya berperan dalam mengatasi permasalahan tersebut? Bagaimana seharusnya pemanfaatan Babakan Siliwangi ke depan?
Publik sangat concern dengan hutan kota Babakan Siliwangi karena keberadaan hutan kota di Bandung masih jauh dari yang diperlukan oleh sekitar 2,7 juta warga kota. Apabila dihitung dari luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung, angkanya kurang dari 10 persen dari luas kota. Angka tersebut jauh dari kebutuhan RTH yang layak bagi kota sekelas Bandung, yaitu 20-30 persen dari luas kota.
Kekhawatiran publik terhadap rencana PT Esa Gemilang Indah membangun usaha komersial di Babakan Siliwangi, selain berpotensi mengganggu hutan kota serta menggusur kreativitas dan kearifan lokal, juga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial bagi usaha ekonomi kecil (PKL) yang selama ini kurang mendapatkan kepastian usaha. Selain itu, timbul kekhawatiran publik bahwa pemberian izin usaha komersial ini akan menjadi pintu masuk bagi pengembangan bangunan di Babakan Siliwangi. Kekhawatiran ini tidak berlebihan karena persoalan lingkungan hidup di Kota Bandung selama ini sering terjadi karena tidak konsistennya rencana dan pelaksanaan pembangunan.
Apabila kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan, akan muncul dampak lanjutan berupa kemacetan lalu lintas, hilangnya spirit dan kreativitas komunitas seni, serta merosotnya kredibilitas Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung karena tidak konsisten terhadap kebijakannya sendiri memperluas RTH. Adapun RTH yang tersisa terancam oleh pemanfaatan lahan yang cenderung privat atau eksklusif.
Sekadar menunjuk contoh, upaya Pemkot menangani kemacetan di Kota Bandung dengan membangun jalan layang Pasupati menjadi sia-sia bila kemudian terjadi kemacetan di Jalan Siliwangi dan sekitarnya akibat meningkatnya lalu lintas terkait dengan pembangunan di Babakan Siliwangi. Apabila hal itu yang menjadi kenyataan, tidak hanya terjadi gangguan terhadap efektivitas pembangunan, tetapi pengorbanan masyarakat yang tergusur karena proyek Pasupati juga menjadi sia-sia.
Konflik kepentingan publik versus kepentingan komersial di Babakan Siliwangi pun muncul karena tidak konsistennya kebijakan pemerataan pembangunan Kota Bandung. Kebijakan pembangunan komersial telah dicanangkan ke Bandung timur. Namun, kebijakan tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Pembangunan di Babakan Siliwangi inkonsisten dengan kebijakan tersebut sehingga menimbulkan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya arah pembangunan Kota Bandung yang kita cintai ini.
Jangka Panjang
Aktivitas penataan kawasan dengan karakteristik khusus, seperti Babakan Siliwangi, adalah mandat politik yang seharusnya diarahkan oleh konsep ekologi berdimensi jangka panjang. Oleh karena itu, penataan Babakan Siliwangi seharusnya lebih ditentukan oleh visi dan prinsip kehati-hatian, bukan pada pertimbangan ekonomi semata. Bahwa penataan Babakan Siliwangi dilakukan Pemkot Bandung memang seharusnya demikian karena otoritas formal ada padanya.
Persoalannya adalah, ketika kepentingan otoritas bertabrakan dengan kepentingan publik, prinsip kehati-hatian harus dikedepankan. Prinsip tersebut diwujudkan melalui dialog yang mengedepankan kepentingan publik karena tugas utama birokrasi adalah melayani kepentingan publik. Karena itu, pendekatan penyelesaian yang digunakan seharusnya tidak melulu formal-prosedural dengan selalu mendasarkan pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atas rencana pembangunan.
Amdal yang disusun tidak transparan dan sarat dengan kepentingan sepihak akan memberikan hasil yang tidak obyektif sehingga kehilangan fungsi substansialnya. Artinya, dokumen amdal tidak lagi dapat memberikan legitimasi dan kepastian akademik terhadap aktivitas pembangunan yang diharapkan ramah lingkungan.
Sebuah pelajaran dapat kita petik terkait dengan isu Babakan Siliwangi sejak 2003. Meningkatnya kontroversi pembangunan di Kota Bandung menunjukkan, apabila komitmen para pejabat eksekutif dan legislatif terhadap pembangunan yang berkelanjutan tidak jelas dan tidak sungguh-sungguh dijalankan, konflik berkepanjangan yang diakibatkan kurang pekanya otoritas kekuasaan terhadap kompleksitas permasalahan lingkungan di Kota Bandung akan datang silih berganti. Muara dari keseluruhan episode yang memprihatinkan ini adalah merosotnya kualitas kehidupan yang layak bagi warga Kota Bandung.
Taman Hutan Kota
Semua sepakat bahwa dalam kondisi seperti saat ini Babakan Siliwangi tidak banyak memberikan manfaat, bahkan tampak kumuh. Lalu, bagaimana bentuk penataan yang sesuai dengan karakteristik Babakan Siliwangi dan kepentingan publik? Babakan Siliwangi seharusnya ditata menjadi taman hutan kota, seperti Taman Ueno di Tokyo atau taman hutan kota lain di dunia. Prinsipnya, publik mendapatkan akses penuh atas taman hutan kota yang merupakan kumpulan pohon, tanaman hias, bangku-bangku pelepas penat, dan tatanan alam berbasis vegetasi dan air lainnya.
Penggiat seni, budaya, dan atraksi diberi tempat untuk menampilkan kreativitas kesenian mereka, tetapi tidak menetap di Babakan Siliwangi. Penjaja suvenir dan makanan juga tidak diperbolehkan menetap. Keberadaan mereka diatur. Ini adalah pendekatan inside out dan outside out yang membebaskan Babakan Siliwangi dari bangunan fisik kecuali arena atraksi yang sangat terbatas.
Bentuk penataan tersebut harus didialogkan antara pemangku kepentingan Babakan Siliwangi dan Pemkot dengan mempertimbangkan akses publik, kegiatan yang tidak bersifat eksklusif, keberadaan hutan kota, dan jaminan bahwa tidak akan ada pengembangan bangunan selain yang disepakati bersama.
Selanjutnya, pemberian izin pembangunan fisik di Babakan Siliwangi yang diperkirakan akan menimbulkan pro dan kontra harus melalui proses dengar pendapat publik. Ini merupakan cara elegan untuk menjaga komitmen kebersamaan dan menjadi pembelajaran ramah lingkungan bagi kita.
Mekanisme pengambilan keputusan seperti ini lebih demokratis dan dapat menghindari kecenderungan saling menyalahkan saat terjadi kasus kerusakan lingkungan. Semoga bermanfaat.
* Chay Asdak adalah anggota dari Forum Antarkampus dan Masyarakat Peduli Bandung
Sumber: Harian Kompas
Artikel terkait: Berebut Jantung Bandung (Majalah Tempo Interaktif)
Berita koran PR tg 8 Okt 2009.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan mulai Rabu 7/10 Satpol PP diperintahkan penghentian pembangunan kawasan Wisata G. Tangkubanparahu oleh PT GRPP. Ternyata Dirutnya adalah Putra Kaban anaknya metri kehutanan MS Kaban yang memberi ijin kepada PT GRPP. ( Kolusi nih !!) Sejak awal sikap Penprof menolak pembangunan di iawasan Bandung Utara yg tidak sesuai aturan ( Kawasan Lindung). Saluuut utk Gubernur Jabar!!!
Pada Tg yg sama di koran PR diberitakan pula bahwa pembangunan Baksil Berlanjut!!
Pemkot Bdg kembali membahas pembanngunan kawasan Baksil dalam rapat tertutup. Padahal menurut anggauta DPRD kota Bandung yg juga mantan anggaota komisi A periode 2004 -2009 Tedy Rusmawan mengatakan mestinya pemkot jangan dulu melakukan pembahasan mengenai amdal dan pembangunan infrastruktur di kawasan Baksil tsb. karena Renc Tata Ruang Kota ( RTRW) dan Renc Detail Tata Ruang Kota (RDTR) masih di Revisi. Selain itu Perjanjian Kerja sama antara Pemkot Bandung dg PT EGI sudah habis sejak 2008 yl.
Andai saja kota Bandung punya walikota yg mempunyai pemikiran dan hatinurani seperti Gubernur Jabar yg tegas dan Amanah …………… andai saja
Salam
Nia P